Rabu, 09 Januari 2013

The Prosa



“:kata-kata yang ku rangkai dari hati yang tercecr di ujung pagi, yang ku kumpulkan dari harapan yang tergilas waktu, dari cinta yang tenggelam di tengah gelombang laut, dari mimpi yang hancur oleh ke egoisan”

Entah apa yang aku rasakan hingga kosong menyergapku dalam keheningan lamunan, ketika masa lalu yang manis merayuku, namun pahitnya mengiris perih, ada rindu yang tersamarkan, namun begitu dalam, masih ada benih cinta yang mugkin akan mekar jika saja hujan bermurah hati tecurah dari atap raksasa yang kebetulan indah membiru.
Begitu banyak khayal dan imajinasi yang merorong pikiran, ada seulas senyum manis yang mengintip di sela-sela mimpi akan seraut wajah yang lama tak ku tatap lagi. Apakah gerangan yang terukir di hati hingga gundah gulana begitu setia mengikuti bayanganku, kenapa setiap kicau burung pagi selalu teriring bayangan akan masa lalu yang tak kunjung terhapus waktu yang egois yang tak pernah mau menunggu meski sedetikpun. Andai saja pikiran ini bisa aku wujudkan semudah bagaimana aku memikirkannya mungkin rangakaian sedu sedan ini tak akan terurai hingga harus hati meringis menahan perih...
Masih ingin aku gapai jemari lentik itu, masih aku rindukan gelayut manjamu, masih aku bayangkan cemberut mu di pelukanku..meski duri-duri itu tak semuanya mampu aku cabut dari hati ini, dan lukanyapun belum kering benar, perihnya masih segar aku rasakan.
Aku merindu tapi apa yang aku rindukan, aku gundah tapi apa yang membuatku gundah, adakah ini Cinta yang tak terbendung sekaligus tak terbalaskan, atau cinta yang begitu suci yang tak bertuan, atau hanya kebodohan seorang laki-laki yang tetap mencinta di tengah goresan luka yang semakin dalam.
Bagaimana aku bisa menghapus semua bayanganmu itu, bagaimana aku menghindar dari senyumanmu yang sungguh menyiksaku itu, bagaimana aku terbebas dari cinta yang tak bertuan dan ketika malam yang dingin menawarkan mimpi yang di dalamnya hanya ada dirimu dan semua kenangan tentangmu, sampai kapan akau tersenyum tapi hatiku menahan perih yang tak berkesudahan..
Tapi mentari begitu welas memelukku dan berbisik tentang cinta sejati, tentang mimpi yang setia hiasi malamku, dan aku hidup di antaranya.
Tersenyum untuk cinta..untuk rindu..dan kasih  sayang..

Untuk dirimu yang masih di hati..i love you until....?????

Siwa Ratri (Malam Siwa)

Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat manusia, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa beryoga. Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran diri (atutur ikang atma ri jatinya). Hal itu diwujudkan dengan pelaksanaan brata berupa upawasa, monabrata dan jagra. Siwarâtri juga disebut hari suci pajagran.

Brata Siwarâtri 
terdiri dari:
Utama, melaksanakan:
1. Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
2. Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
3. Jagra (berjaga, tidak tidur).
Madhya, melaksanakan:
1. Upawasa.
2. Jagra.
Nista, hanya melaksanakan: Jagra. 
Tata cara melaksanakan Upacara Siwarâtri.
Untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan sucilaksana (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14 sasih Kapitu. Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan urutan sebagai berikut:
Untuk Sang Sadhaka sesuai dengan dharmaning kawikon.
Maprayascita sebagai pembersihan pikiran dan batin.
Ngaturang banten pajati di Sanggar Surya disertai persembahyangan ke hadapan Sang Hyang Surya, mohon kesaksian- Nya.
Sembahyang ke hadapan leluhur yang telah sidha dewata mohon bantuan dan tuntunannya.
Ngaturang banten pajati ke hadapan Sang Hyang Siwa. Banten ditempatkan pada Sanggar Tutuan atau Palinggih Padma atau dapat pula pada Piasan di Pamerajan atau Sanggah. Kalau semuanya tidak ada, dapat pula diletakkan pada suatu tempat di halaman terbuka yang dipandang wajar serta diikuti sembahyang yang ditujukan kepada:
- Sang Hyang Siwa.
- Dewa Samodaya.
Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas tirta pakuluh. Terakhir adalah masegeh di bawah di hadapan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwarâtri, ditutup dengan melaksanakan dana punia.
Sementara proses itu berlangsung agar tetap mentaati upowasa dan jagra.
Upawasa berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam).
Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih berisi garam dan minum air putih.
Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam).
Persembahyangan seperti tersebut dalam nomor 4 di atas, dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih Kapitu, pada tengah malam dan besoknya menjelang pagi.
(http://www.babadbali.com/canangsari/hkt-hari-siwaratri-pelaks.htm)

Dari kalangan para peminat spiritual, cerita Lubdaka itu diterjemahkan sebagai berikut : Jika seseorang sudah mampu membunuh sifat kebinatangannya, maka timbullah rasa ingin dekat dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Rasa keinginan atau hasrat (kerinduan) itu diwujudkan dengan berbagai cara (berjapam/mengulang-ngulang nama suci Tuhan), beryajna dan sebagainya.

Hal ini dilukiskan oleh Lubdaka yang memetik daun-daun Bila, dan mengenai Lingga Sang Hyang Siwa di telaga. Diistilahkan dengan seseorang yang sedang berjapam. Arwah Lubdaka menjadi rebutan, namun kemudian Siwa sendiri yang menyelamatkannya. Ini adalah suatu kiasan, bahwa betapapun besar dosa seseorang, jika sudah mohon ampun kehadapan –Nya serta insaf maka kesalahan itu akan diampuni oleh-Nya.

Hari suci Tilem datangnya tiap bulan, tapi mengapa tilem Kepitu mempunyai keistimewaan tersendiri. Untuk itu mari kita simak keutamaan brata Siwaratri yang tercantum dalam “Padma Purana” dituangkan dalam percakapan antara seorang Maha Rsi, yaitu Wasistha dengan seorang Raja yang bernama Dilipa. Kutipannya sebagai berikut :

“Dengarkanlah Paduka, saya akan menjelaskan kepada Anda tentang Brata Malam Siwa yang sangat utama, satu-satunya sarana untuk mencapai Siwaloka. Hari keempat belas paruh gelap bulan Magha atau Palguna, patut diketahui sebagai Malam Siwa (Siwaratri), yang menghapuskan segala papa.

Anugerah itu paduka, tidak didapatkan dengan tapa, dana, japa, semadhi, tidak juga dengan upacara dan sebagainya. Brata Malam Siwa paduka, adalah yang paling utama diantara segala brata, bagi Meru diantara Gunung, Matahari diantara segala yang bercahaya, Pertapa diantara mahluk berkaki dua, dan Kapila diantara mahluk berkaki empat, Gayatri diantara mantra, Amerta diantara segala yang cair, Wisnu diantara laki-laki dan Arundhati diantara wanita”.

Banyak kalangan yang kurang setuju, jikalau malam Siwaratri sebagai malam penebusan dosa. Karena kepercayaan Hindu, hukum karma itu tidak pandang bulu. Meskipun orang suci, jika berbuat salah tetap akan mendapat hukuman. Reaksi dari perbuatan itu sulit untuk dihapus, maka dari itu ada beberapa pakar yang menyatakan tidak setuju jika malam Siwaratri diistilahkan sebagai malam peleburan dosa.

Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan laku brata : Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang bertandang kerumah dan menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut, menyebabkan orang menjadi tersinggung. Maunya melakukan tapa mona brata, justru malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel dan sakti hati. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke hutan atau ketempat yang sunyi, jauh dari keramaian.

Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Jadi disini ditekankan tidak diharuskan untuk berpuasa/tidak makan dan minum semalam suntuk. Melainkan pengendalian dalam hal makan dan minum. Umat dibebaskan untuk melaksanakan bratanya, mau puasa ya silahkan, tidakpun tidak apa-apa. Hanya saja brata itu berlaku untuk seterusnya.

Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting adalah begadang demi dia (Siwa). Bukan begadang main gaple atau nonton TV. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma Santhi, pergi saling menungjungi kerumah sahabat, handai toland sambil bermaaf-maafan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Malam Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan peleburan kepapaan dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia memiliki kepapaan, karena dibelengu oleh nafsu-nafsu indrianya/raganya.

Itulah sebabnya sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri pada Tilem Kepitu yaitu sehari menjelang Tilem Kepitu. Yang tujuannya semata-mata untuk mengurangi kepapaan dari nafsu-nafsu indria yang dimiliki oleh umat manusia.

Terutama sekali yang berupa 7 (tujuh) kegelapan yang disebut dengan Sapta Timira (tujuh macam kemabukan). Diantaranya adalah, Surupa (mabuk karena rupawan/rupa tampan atau cantik), Dhana (mabuk karena kekayaan), Guna (mabuk karena kepandaian), Kasuran (mabuk karena kemegahan), kulina (mabuk karena keturunan bangsawan), Yowana (mabuk karena keremajaan), Sura (mabuk karena minuman keras).

Ternyata bukan minuman keras saja yang menyebabkan seseorang menjadi mabuk, melainkan juga ke enam keberuntungan itu. Jika tidak hati-hati membawa dan menjaga keberuntungan itu, justru membuat seseorang menjadi sombong dan terjerumuslah dia kedalam kegelapan.

Makna hari suci Siwaratri adalah untuk menyadari bahwa seseorang berada dalam pengaruh kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi, baik jiwa, pikiran maupun badan jasmaninya. Kegelapan itu harus disingkirkan dengan ilmu pengetahuan rohani.

Yang paling penting sekali adalah berkat dari Sang Hyang Siwa sendiri. Beliaulah yang akan menghapus kepapaan, ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri. Mungkin ribuan orang akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang mendapat hukuman. Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Sang Hyang Sada Siwa) menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak membenci malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti itu.

Itulah keutamaan beliau, tidak membenci siapapun, walaupun penjahat kelas kakap yang dibenci jutaan manusia. Beliau tetap berbelas kasih. Bersedia mengampuni, asal umat-Nya dengan tulus iklas berserah diri, pasrah total kehadapan-Nya.

Beliau sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-Nya. Maka sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri ini kepada siapa saja. Karena pintu tobat dan pengampunan pada hari itu terbuka lebar-lebar.

Ada lagi disebutkan keutamaan brata Siwaratri dalam lontar “Siwaratrikalpa” buah karya Mpu Tanakung, bahwa jika seseorang mampu melaksanakan laku ; upawasa, mona brata dan jagra pada hari itu, yang tujuannya memuja Sang Hyang Sada Siwa, serta memohon pengampunan-Nya maka dosanya akan terhapus.

Kelihatannya kok gampang dan mudah sekali ya ? Belum tentu ! Melaksanakan salah satu dari brata itupun sangat sulit, apalagi ketiganya sekaligus. Meskipun cuma satu hari satu malam, wah sulitnya minta ampun.

Dan beliau (Mpu Tanakung) juga mengisyaratkan bahwa brata Siwaratri melebihi semua jenis yajna. Untuk itulah, seseorang jangan berputus asa jika sudah terlanjur melakukan kesalahan. Karena Siwaratri bisa dilaksanakan dimana saja (di rumah, di Pura, di tempat sunyi, bahkan di Lembaga Pemasyarakatan / Penjara). Justru disinilah mungkin ( di Lemaga Pemasyarakatan) brata Siwaratri itu dilaksanakan lebih khusuk.

Apa tujuannya Monabrata, upawasa dan mejagra. Pada dasarnya, laku-laku tapa brata adalah untuk pengendalian diri (mengekang hawa nafsu). Atau dengan kata lain membiasakan berkata dan bertingkah laku yang baik.

Monobrata maksudnya adalah mengubah kebiasaan dari suka berkata-kata kasar, memaki, memfitnah, membicarakan keburukan orang, menjadi senang berkata-kata yang lemah lembut, membicarakan kebaikan orang lain, senang mengagungkan nama Tuhan.

Monobrata pada hari suci Siwaratri diarahkan untuk mengucapkan nama Tuhan didalam lubuk hati secara terus menerus, misalnya ; “Om Namah Siwa Ya, Om Namah Siwa Ya,…. Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya. . .dan seterusnya.

Ada kebiasaan umat yang membawa tasbih atau genitri. Ada juga yang tidak membawa apa-apa. Yang penting adalah nilai kekhusukannya.

Tapa monobrata tujuannya adalah sangat luhur dan mulia, terutama sekali untuk mengekang nafsu marah dan angkara murka. Sebab kata-kata yang kasar bisa melukai perasaan orang lain sampai bertahun-tahun.

Maka orang yang dikuasai oleh nafsu murkanya, tak dapat tidak niscaya ia melakukan perbuatan jahat, sampai akhirnya dapat membunuh guru, dan sanggup ia membakar hati seorang saleh, yaitu menyerang dia dengan kata-kata yang kasar.

Tambahan pula orang yang dikuasai oleh nafsu murka, sekali-kali tidak tahu akan perkataan yang keliru dan yang benar, sekali-kali mereka tidak mengenal perbuatan yang terlarang dan yang menyalahi dharma serta sanggup mereka mengatakan sesuatu yang tidak layak untuk dikatakan.

Maka monobrata diusahakan sekali untuk dilaksanakan meski tidak hanya pada hari Suci Siwaratri saja. Karena begitu besar manfaatnya, bagi pembentukan sifat dan karakter seseorang. Hakekatnya yang disebut nafsu murka, adalah musuh didalam diri kita ; jika ada orang yang dapat menghilangkan nafsu murka itu, maka ia pun akan disegani, dipuji dan dihormati selama ia ada di dunia.

Kemudian laku upawasa yaitu berpuasa tidak makan dan minum adalah untuk menunjang jalannya brata monobrata. Supaya konsentrasi seseorang yang menjalankan laku ini tidak pecah. Mengistirahatkan kerja usus, lambung dan kerongkongan serta mulut pada hari suci itu, untuk tujuan pemujaan. Berpuasa secara fisik dan mental menjadikan tujuan itu terpusat kesatu arah. Apalagi disertai dengan japam (pengulangan mantra), sehingga meditasi itu menjadi khusuk.

Mejagra yaitu begadang semalam suntuk, dalam tradisi India ada diistilahkan dengan “Akanda Bhajan”. Yaitu mengidungkan nama-nama suci Tuhan selama 24 jam secara terus menerus, sambung menyambung.

Begitupun halnya dengan mejagra, begadang semalam suntuk sambil mengidungkan nama-Nya di dalam hati secara terus menerus. Makna dari mejagra ini adalah, agar seseorang senantiasa terjaga selama hidupnya, dengan kata lain tidak lupa diri (mabuk) tidak dikuasai oleh 7 (tujuh) nafsu kemabukan itu.

(http://www.parissweethome.com/bali/cultural_my.php?id=14;  by Adang Suprapto)

Itulah informasi yang penulis petikan dari berbagai sumber, dimana pada intinya malam siwa atau malam siwaratri adalah malam yang sangat bagus utuk melakukan evaluasi diri, demi hari esok yang lebih baik, baik secara pemikiran, sikap dan ucapan. ada beberapa hal yang harus di luruskan, peleburan dosa bukan serta merta bermakna dosa yang telah di perbuat itu bisa di lebur, perlu di ketahui bahwa dosa itu tidak bisa di lebur, di hapus atau di hilangkan, atau semcamnya, akan tetapi dosa itu hanya bisa di seimbangkan atau di imbangi dengan perbuatan baik, jika di ibaratkan dosa itu seperti kopi, yang di larutkan dalam segelas air, kopi itu tidak bisa di hilangkan akan tetapi kopi itu bisa di tambah gula hingga menjadi manis dan enak untuk di nikmati atau di tambah dengan air sebanyaknya sehingga warna hitam kopi bisa berubah mebjadi lebih bening dengan volume air yang jauh lebih banyak akan tetapi kandungan kopi dlam air tetap ada, tidak menjadi hilang akan tetapi kalah banyak oleh jumlah volume air. nah demikian halnya dengan dosa manusia yang tak dapat di lebur atau di hilangkan atau di hapuskan.
kemudian kenapa Dewa siwa? Dewa Siwa adalah Dewa yang kita yakini sebagai Dewa yang memiliki kekuatan melebur, penghancur, sehingga dengan demikian segala dosa dpat di minimalisir dan volumenya dapat di tekan dengan volume kebaikan.
kenapa malam? malam identik dengan kegelapan, sedangkan dalam diri manusia juga cendrung memiliki unsur kegelapan (dewa ye, bhuta ye)  dengan demikian di harapkan kegalapan itu mendapat pencerahan dari segala pengendalian diri yang di laksanakan pada malam siwa ini.