Jumat, 24 April 2015

Nyepi dan Ogoh-ogoh


A.  Nyepi
Nyepi adalah hari besar umat hindu yang di akui oleh Pemerintah dengan menjadikan tanggal jatuhnya hari Raya Nyepi tersebut sebagai tanggal merah,atau libur nasional.
Ada empat brata, atau pantangan yang umat hindu lakukan dalam hari raya Nyepi, yang sering di sebut dengan Catur Brata PeNyepian yang terdirii dari, Amati Geni, Amati karya, Amati Lelanguan, dan Amati Lelungean.
Amati Geni, atau tidak menyalakan api, secara arafiah masyarakat hindu pada saat hari raya Nyepi tidak menyalakan api dalam bentuk apapun, ini artinya tidak ada yang menyalakan tungku (tidak ada kegiatan memasak), tidak ada yang meyalakan lampu (mengarah pada lampu minyak, mengingat pada masa lampau belum ada listrik maupun energi semacamnya), tentu saja amati geni juga berarti tidak ada yang menyalakan rokok, membakar sampah atau semacamnya, ini menjadikan lingkungan bebas dari polusi asap dan karbon dioksida. Akan tetapi kemudian timbul pertanyaan, bagaimana jika sesorang hendak sembahyang/maturan, apakah tidak menyalakan dupa atau asep? Sedangkan dalam kegiatan ini identik dengan asap/pasepan dan dupa.(kaitannya dengan kepercayaan umat hindu terhadap tri saksi yang salah satunya adalah api, sehingga dalam setiap kegiatan ritual umat hindu akan di jumpai wujud api, baik dalam bentuk dupa ataupun pasepan dan atau yang lainnya.
Amati karya atau tidak melakukan aktivitas kerja, pada perayaan Nyepi tak ada yang boleh bekerja. Semua hanya boleh diam dirumah masing-masing, akan tetapi apakah benar tidak boleh bekerja, apa maksudnya tidak boleh bekerja, jika hanya menarik nafas saja itu adalah masuk dalam katagori bekerja, bahkan dalam bhgawad gita di jelaskan bahkan tanpa bekerja tubuhpun tak dapat bertumbuh, lalu bagamana bisa ada amati karya, yang jelas-jelas bertentangan dengan Bhagavad gita, sedangkan Bhagavad Gita merupakan salah satu bagian dari Veda.
Amati lelanguan atau tidak bersenang-senang atau tidak berfoya-foya. Apapun yang masuk katagori bersenang-senang, atau berfoya-foya pada perayaan nyepi itu di larang, berpesta, menonton tv, judi, mabuk dan sebagainya. jika demikian apa yang musti di lakukan, bekerja tidak boleh, masak tidak boleh karena memasak harus menyalakan api, maturan atau sembahyang tidak boleh, karena itu merupakan bagian dari kegitan kerja? Lalu apa?
Amati lelanguan atau tidak berpergian, ini artinya dalam peryaan nyepi seseorang hanya boleh berada di rumah saja, tidak boleh melakukan perjalanan keluar rumah. Lalu bagaimana jika ada sesuatu yang mendesak dan sifatnya darurat? Apakah tetap tidak boleh keluar rumah?. Praktis keempat larangan dalam nyepi ini atau catur brata penyepian ini membuat seseorang berubah menjadi patung hidup dalam sehari, itu menurut saya, dan jika dicermati secara harafiah, demikianlah adanya tentang perayaan nyepi. Dan lalu bagaiamana anda menanggapinya? Itu tergantung dari pola pikir anda, itu semua sah sah saja.
Sekarang saya ingin membahas kembali catur brata penyepian di atas,dan mari kita lihat ada apa dengan catur brata penyepian dari sudut pandang saya secara filsafat versi saya.
Hindu adalah agama yang begitu demokratis dan fleksibel, demokratis artinya seseorang boleh menentukan sikap sesuai dengan pandangan dan pola pikir masing-masing tanpa perlu ada intimidasi atau intervensi seperti ajaran agama rumpun yahudi, dalam hindu tidak akan ada yang di murtad atau di haramkan, tak ada acaman siksa neraka atau janji manis surga, semua bebas melakukan apapun tentu saja harus bertanggug jawab atas itu, saya berbicara begini dalam koridor filsafat bukan adat budaya atau etika, ketika saya berbicara etika, akan terbentur dengan yang namanya karma phala, dan inilah jaminan kebebasan umat hindu ini modal dari demokrasi umat hindu, setiap orang bertanggung jawab atas diri masing-masing dan atas apa yang dilakukannya tentu saja tidak ada hubungannya dengan orang lain termasuk orang tua. Fleksibel artinya  hindu seperti air selalu menuruti atau mengikuti bentuk dari pada tempatnya di tampung sedang permukaannya tetap rata, lihat saja hindu di india tentu tidak mengenal hari raya seperti hindu di Indonesia termasuk nyepi, begitu juga dengan di tempat lain yang hindu akan berbeda pula sesui dengan local geniusnya, atau budaya local, jadi bisa di katankan nyepi dan hari raya yang lain yang kita kenal hanya ada di Indonesia tentu saja termasuk catur brata penyepian di atas, dan satu lagi menurut viveka nanda, hindu itu universal, karena hindu mampu memuaskan semua jenis pikiran manusia, terkait dengan hindu yang demokratis dan fleksibel. Atas dasar ketiga sifat hindu ini, ketika hindu berada di Indonesia pada umumnya dan di bali pada khususnya, maka hindu berkembang dan di jalannkan sesuai dengan pola pikir, budaya dan adat setempat, kaitannya dengan Nyepi dan Catur Bratanya hal inilah yang melatar belakanginya. Meskipun demikian hindu tak pernah lepas atau keluar dari tiga kerangka dasarnnya yaitu Filsafat(tattwa), Etika(susila) dan Ritual(upacara). Catur brata penyepian yang secara arafiah yang kita ketahui dan sampai detik ini masih kita jalani adalah bentuk etika dari nyepi itu sendiri. Amati geni, yaitu tidak menyalakan api, yang di maksud dengan api disini lebih mengarah pada api yang ada di dalam diri sendiri yang sendrung bersifat negative, seperti amarah, ego, nafsu, keingianan, yang biasannya selalu berkobar, baik di sadari atau tidak, di ketahui atau tidak. Api inilah yang di maksud oleh para orang suci,pada saat nyepi harus di amati tidak di nyalakan, diredam, ini merupakan konsep pengekangan indria,tapa. Akan tetapi masyarakat awam tentu saja akan merasa asing dengan konsep ini, apalagi jika harus melaksanakannya, nah atas dasar ini maka secara etika setiap nyepi amati geni di laksanakan secara simbolis dengan tidak menyalakan api secara fisik dalam segala jenisnya, baik api tungku, lampu, dan sebagainya. dengan harapan masayarakat mampu merenungi konsep aslinya. Nah jika demikian berarti boleh dong menyalakan api pada saat nyepi? Boleh saja! Asal saja bertanggung jawab. Bertanggung jawab bagaiamana? Ketika masyarakat dalam hal ini tetangga, orang lain di kampung kita, sedang merayakan nyepi, saat kita menyalakan api haruslah melihat situasi, jadilah dewasa, tidak mungkin dan tidak etis serta tidak sopan jika kita kemudian memasak secara vulgar, sehingga mengganngu yang lainnya, harus di pikirkan juga batas-batasannya, ketika di pertanyakan haruslah mampu menjalaskan secara bijaksana sehingga, orang lain mampu juga memahaminya.begitu juga dengan bagian dari catur brata yang lainnya, amati geni, amati lelanguan dan amati lelungaan, apa yang kita lihat dan jalani merupakan wujud simbolis dan etika dari wujud tapa/brata yang lebih halus, hal ini memungkinkan masyarakat awam mampu menjalaninya dan tidak hanya orang suci saja yang melakukannya, amati karya memiliki makna, bahwa seseorang haruslah melakukan segala sesuatu sebagai persembahan terhadap tuhan, dengan kata lain menjadikan segala kegiatan kerja sebagai yajna, seseorang bekerja demi kerja itu sndiri, dengan tanpa memikirkan hasilnya, ini merupakan pengendalian diri yang luar biasa serta dalam kehidupan sehari-hari akan menjadikan seseorang pekerja yang professional. Ini adalah konsep karma yoga seperti yang di ajarkan krisna pada arjuna dalam bhagavad gita, bekerja demi kerja itu sendiri, menyerahkan semua hasilanya sebagai bahkti kepada Tuhan. Bekerja dalam diam dan diam dalam bekerja.inilah yang di harapkan di pahami dan direnungkan dalam nyepi dengan melaksanakan amati karya. Karna tidsk mungkin seseorang hidup tanpa kerja. Semua itu telah di jelaskan dalam bhagavad gita. Amati lelungean. Tidak pergi ini artinya pikirannlah yang tidak pergi, banyak yang tanpa sadar tanpa di ketahui oleh dirinya sendiri, ketika melakukan apapun dalam kesehariannya, pikirannya entah kemana, apalagi dalam melakukaan kegiatan persembahyaangan, maka cendrung badan saja yang sembahyang tapi pikiran tidak. Tidak pada saat sembahyang saja, tapi hampir di setiap aktivitas seseorang mengalami hal demikian, nah dalam perayaan Nyepi hal itu menjadi obyek pengendalian, pikiran yang biasanya mengembara, berkeliaran, yang oleh orang suci sering  di ibaratkan seperti anjing liar yang tak pernah mau diam, pada moment Nyepi, pikiran yang biasanya liar berusaha untuk di kendalikan, ketika pikiran di kendalikan, maka indria lebih sensitiif. Karena segala Sesutu berawal dari pikiran, bahkan indria hanya merupakan alat pikiran saja, pikiran lha yang menjadi tuannya. Ketika alam semesta adalah ilusi dan maya maka pikiranlah yang menjadi pusatnya. Ketika seseorang mengendalikan pikiran maka maya yang di sebabkan oleh pikirn akan perlahan-lahan akan memudar dan kebenarnnya akan terlihat, inilah yang yang menjadi tujuan dari amati lelungean. Amati lelanguan, tidak bersenang-senang, tidak berfoya-foya .yang namanya berfoya-foya dan bersenang senang, itu memang tidak baik jika berlebihan. Ketika seseorang berfoya-foya dan bersenang-senang, cendrung menjadi lupa dan kecanduan, dalam veda sering di katakana bahwa bersenang-senang dan berfoya-foya cendrung menutupi sifat satwika, seseorang karena yang mendominasi adalah sifat rajasa. Nah dalah moment hari raya Nyepi ini, kita di kondisikan dan di harapkan mampu untuk mengekang sifat rajasa ini, lalu kemudian mengembangkan sifat satwika. Dalam keadaang bersenang-senang dan tau berfoya-foya, pikiran dalam posisi terikat pada obyek dan cendrung menjadi ikatan itu cendrung lebih kuat, sehingga kebenaran lebih dalam tenggelam dalam lautan maya, yang di ciptakan ole pikiran yangbegitu kuat terikat pada obyeknya, Nyepi memungkinkan seseorang berusaha untuk megendalikan pikiran, melepaskan pikiran dari iktan obyeknya, yang pada akhirnya kebenaran akan terungkap, karena kebenaran hanya dapat di ketahui dan di alami oleh pikiran yang bebas dari ikatan obyek indria, atau pada tingkat yang lebih hebat, pikiran tak lagi mempengaruhi sang diri sejati, dan pikiran tak lebih dari pusat maya. Seperti layaknya cermin, seseorang tak bisa melihat sang diri jika cermin tersebut masih tertutup debu, tapi ketika debu di bersihkan dan cermin kembali bersih dan bening, maka sang diri akan muncul dengan sendirinya.
Nyepi merupakn konsep hari raya yang komplit memproyeksikan tri krangka agama hindu, dimana dalam Nyepi setiap brata yang dilakukan mengandung tiga makna yang terdapat dalam tri krangka agama hindu, yaitu filsafat, etika, dan upacara, upacara adalah tentang bagaimana Nyepi tiu di rayakan, dari melasti, ogoh-ogoh, mecaru, dan ngebak geninya, etika adalah tentang bagaimana semua rangkaikan Nyepi itu di lakukan termasuk catur brata peNyepiannya, dan filsafat adalah tentang sesuatu yang lebih halus yang di wakilkan oleh setiap rangkaian perayaan Nyepi itu sendiri. Inilah perayaan Nyepi.
Jika kita amati, andai saja semua dengan disiplin melaksanakan catur brata penyepian, maka terdapat dampak positif bagi tidak saja buana alit akan tetapi juga bagi buana agung atau alam semesta atau paling tidak bumi ini saja. Dengan tidak menyalakan api, memadamkan listrik, tidak pergi berarti tidak ada kendaraan bermotor itu berarti tidak ada gas co2 yang di keluarkan, dengan tidak bersenang-senang maka itu adalah penghematan baik materil dan pikiran, ini dia dampak positifnya, seseorang bisa lebih peka terhadap suara alam yang hanya akan terdengar dan di pahami ketika seseorang dalam keadaan diam dan keadaan sekitarnya juga sunyi. pencaarian kedalam akan lebih focus, badan dan pikiran akan mendapat rehat yang cukup, dan untuk alam, alam akan tersenyum untuk saat itu, rumput-rumput dapat tenang karena satu hari tak ada yang mengganggunya, bumi tersenyum karena tak harus menghirup udara kotor. Satu hari global warming terhambat. Itulah nyepi.
B.  Ogoh-ogoh dan kala
Ogoh-ogoh adalah sebuah karya seni yang selalu mejadi bagian dari perayaan Nyepi, ogoh-ogoh merupakan bentuk kala, dan kala dalam bahasa Indonesia adalah waktu. Waktu adalah yang menelan dan menggilas segalanya tanpa pandang bulu, tak ada yang luput darinya, waktu memakan segalanya, itulah yang di gambarkan dengan bentuk ogoh-ogoh, selain itu juga dalam kepercayaan masyarakat hindu bali, kala adalah energy negative yang sifatnya megahancurkan dan selalu memebawa dampak buruk. Ini juga yang berusaha di gambarkan dalam wujud ogoh-ogoh yang kemudian di arak dalam perayaan nyepi, tepatnya sehari sebelum Nyepi, kenapa? Agar semua dari kita menyadari bahwa kala yang di wakilkan dengan ogoh-ogoh itu, bahwa kala(energy negative) adalah bagian intergral dari kehidupan manusia baik secara umum ataupun khusus tak ada yang luput dari hal itu, dengan menyadari itu semua, bahwa manusia tak akan luput dari yang namanya rwa bineda, maka seseorang hendaknya selalu belajar untuk menjadi tidak saja dewasa dalam usia akan tetapi juga dalam hal berfikir(menjadi bijak). Tak pernah ada saat dimana ada orang hidup tanpa melakukan kesalahan begitu juga sebaliknya dengan kebaikan, dan satu lagi dihadapan waktu tak ada yang namanya kaya dan miskin, baik dan buruk, tua atau muda semua sama, waktu tetap akan menggilasnya, ingatlah selalu waktu yang membawa kelahiran, kehidupan maka waktu juga yang membawa kematian. Tua tak menjadi alasan mati, karena ada yang mati muda, menderita dan melarat bukan syarat mati, karena orang kaya juga mati, sakit pun demikian karena ada yang sehat saja mengalami kematian, menyadari ini di harapkan sesorang akan menjadi lebih bijak, menekan ego dan mulai berfikir bahwasanya tak ada satupun yang dapat di banggakan dalam kehidupan, tak ada yang bisa di pamerkan, di sombongkan dalam kehidupan, semua tidak aka nada gunanya ketika waktu membawa kematian kehadapan kita, tidak kekayaan, tidak kekuasaan, tidak juga kesaktian yang dapat menghindarkan seseorang dari yang namanya kematian. Ini lah pembelajarannya, inilah pesan yang  terkandung dalam moment parade ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh di buat kemudian diarak dan di bakar, sehari sebelum nyepi guna menetralisir, menyeimbangkan kembali antara kekuatan negative dan kekuatan positif di akhir tahun saka dan menjalani keseimbangan di tahun yang baru, sehingga memberikan semangat dharma yang baru pula. Itulah ogoh-ogoh dan kala.